Seakan sang musafir menapaki safana putih sejauh retina menatap,
terhenti di tengah jalan melihat sekitar, namun si musafir kehilangan arah,
jejak tingallah jejak tertutupi butiran putih dari langit. Kini sang musafir
tersesat di safana antah berantah bergulat dengan ketakutannya dengan semua
kecewanya, tertatih sesak menahan rindu yang tak tahu harus dikemanakan.
Akankah lautan gelora dalam jiwa jadi nyata bagi sang musafir?
Akankah rindunya sampai pada sang pemilik hati?
Musafir itu bergulat dengan hatinya yang tak henti menghujam tanya
dan menghujat dengan penyesalan.
Lantas mengapa dia memilih menjadi musafir tak berpeta? Sedangkan
banyak peta yang bersedia ada
untuknya!! Musafir itu pernah memiliki peta, namun takdir merenggut tanpa ampun
peta dari genggaman sang musafir. Kini sang musafir mematung sepi, menanti,
berharap semoga yang katanya "AKAN INDAH PADA WAKTUNYA" bukan sekedar
katanya.
0 Response to "Musafir tak berpeta! Oleh: Asya Hilyatul Aulia, XI MIA"
Posting Komentar